Hermeneutika modern yang diasaskan oleh Paul Ricoeur merupakan kelanjutan dari proyeksi F.E.D. Schleiermacher tentang bahasa. Dia menyatakan bahwa bahasa identik dengan pikiran. Anthony Thiselton berpendapat bahwa bahasa pertama-tama adalah the locus of meaning alias wadah makna-makna. Setiap makna yang dijumpai dalam wacana tulis senantiasa memiliki konteks dengan kenyataan di luar bahasa. Pandangan ini merujuk pada hermeneutika Paul Ricoeur. Dalam bukunya The Rule of Metaphore (1978) Paul Ricoeur sendiri memandang bahwa pemahaman dan penafsiran bukanlah semata kegiatan yang berkenaan dengan bahasa, melainkan juga sebagai tindakan pemaknaan dan penafsiran. Tidak ada orang membaca sebuah teks dengan maksud memahami isinya yang tidak melakukan penafsiran dan pemaknaan selama proses pembacaan berlangsung (Hadi W.M., 2014:55-56).
Dengan mengutip Nietzsche, Paul Ricoeur menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting sebab terdapat makna yang multilapis. Paul Ricoeur mengatakan bahwa keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Oleh karena itu, filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan (Sumaryono, 2003:105).
Simbol membuat kita sebagai pembaca berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Demikian pandangan Paul Ricoeur yang kemudian mengarahkan filsafatnya kepada hermeneutika, terutama pada interpretasi, yaitu penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis).
Dalam perspektif kedua tokoh hermeneutika kontemporer, Paul Ricoeur dan Emilio Betti yang mewakili tradisi hermeneutika metodologis,hermeneutika adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak, ruang, dan waktu dari pembaca. Namun, sebagaimana Hans-Georg Gadamer yang mewakili tradisi hermeneutika filosofis, Paul Ricoeur juga menganggap bahwa seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks. (Permata, dalam Ricoeur, Terj. Hery, 2003:203).
Melalui bukunya yang berjudul De l’interpretation (1965), Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika bukan saja sebagai interpretasi terhadap simbol-simbol, melainkan memperluasnya menjadi perhatian kepada teks. Dalam pemikiran Paul Ricoeur, hermeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, tanda, atau simbol yang dianggap sebagai teks (Ricoeur, Terj. Syukri, 2006:57). Apa yang kita ucap atau tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda Karakter ini oleh Paul Ricoeur disebut sebagai “polisemi”.
Menurut Paul Ricoeur, tugas utama hermeneutik , ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar serta memungkinkan ‘hal’-nya teks itu muncul ke permukaan ( Sumaryono, 1999:107). Untuk keperluan tersebut, hermeneutika merangkum banyak disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman.
Sebagai
bangunan teori, hermeneutika Paul Ricoeur dibangun berdasarkan tiga pilar
penting, yaitu
Pertama, filsafat
eksistensialisme Gabriel Marcel, Karl Jaspers, dan Martin Heidegger,
hermeneutika dikaitkan dengan dorongan kodrati manusia untuk meng-“ada” atau
bereksistensi melalui bahasa yang terjelma menjadi filsafat, ilmu pengetahuan,
agama, seni, kebudayaan, sastra, dan lainnya. Kedua, dasar-dasar
filsafat tentang eksistensialisme itu dipadukan oleh Paul Ricoeur dengan
fenomenologi Edmund Gustav Albrecht Husserl. Ketiga,
panduan dua arus besar pemikiran modern itu diperkuat oleh pemikiran Paul
Ricoeur sendiri tentang arkeologi dan eskatologi. Jika hermeneutika Martin
Heidegger dibangun atas prinsip artikulasi dasein (ada
di sana) dan das sein (wujud),
hermeneutika Paul Ricoeur dibangun atas pemikiran bagaimana “aku yang berpikir”
(cogito) harus meng-“ada” untuk mengatasi
pemikiran yang idealistik, subjektif, dan solipsistik (Hadi W.M., 2014:57).
Salah satu modus meng-“ada” manusia ialah mencari penjelasan
dan pandangan yang memuaskan tentang segala sesuatu melalui bahasa. Melalui
bahasa, manusia dapat menemukan pandangan-pandangan dan penjelasan-penjelasan
tentang semua bentuk realitas yang seringkali berbahaya jika tidak disikapi
dengan benar dan arif. Untuk keperluan itu, simbol-simbol yang hadir dalam
kehidupan tempat kita berpartisipasi di dalamnya, seperti ilmu, pemikiran,
keagamaan, mitologi, adat, seni, dan sastra harus dapat ditafsirkan kembali
untuk memperoleh makna baru yang lebih segar. Tanpa penafsiran dan pemahaman
yang segar, simbol-simbol dan kebudayaan akan mengalami proses pendangkalan dan
penyempitan arti. Karena itu, Paul Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutika yang
sebenarnya ialah penafsiran untuk menyingkap makna batin simbol-simbol dengan
menyebrangi makna lahir atau formalnya (Hadi W.M., 2014:60).
Paul Ricoeur mengalamatkan penafsiran kepada tanda atau
simbol yang dianggap sebagai teks. Yang dimaksud dalam hal ini adalah
interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik
(Bleicher, Terj. Permata, 2003:347). Hal itu karena seluruh aktivitas kehidupan
manusia berurusan dengan bahasa, bahkan semua bentuk seni yang ditampilkan
secara visual pun diinterpretasi dengan menggunakan bahasa. Paul Ricoeur
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan bahasa dan bahasa itu sendiri
merupakan syarat utama bagi pengalaman manusia (Sumaryono, 1999:107). Oleh
karena itu, hermeneutika adalah cara baru bergaul dengan bahasa dan penafsir
bertugas untuk mengurai keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat
laten di dalam bahasa.
Sumaryono (1999:108) berpendapat bahwa bahasa dinyatakan
dalam bentuk simbol dan pengalaman yang dibaca melalui pernyataan atau ungkapan
simbol-simbol. Paul Ricoeur memaknai simbol secara lebih luas daripada para
pengarang yang bertolak dari retorika Latin atau tradisi neo-Platonik yang
mereduksi simbol menjadi analogi.
Kata Paul Ricoeur:
“Saya mendifinisikan ‘simbol’ sebagai struktur penandaan yang
di dalamnya sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada, sebagai
tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif dan yang dapat
dipahami hanya melalui yang pertama” (Bleicher, 2003: 376).
Paul Ricoeur dalam Sumaryono (1999: 106) menegaskan bahwa
setiap kata adalah sebuah simbol. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi. Tidak hanya kata-kata di dalam karya sastra, tetapi kata-kata
dalam bahasa keseharian juga merupakan simbol-simbol. Hal itu menggambarkan
makna lain yang sifatnya tidak langsung karena terkadang ada yang berupa bahasa
kiasan yang semuanya itu hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol. Simbol
dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai pluralitas makna yang
terkandung di dalam simbol atau kata-kata dalam bahasa. Setiap interpretasi
adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung. Dalam konteks karya
sastra, setiap interpretasi ialah usaha membuka lipatan makna yang terkandung
di dalam karya sastra. Oleh sebab itu, hermeneutik bertujuan menghilangkan
misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung
daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.
Hal itu senada dengan pendapat Paul Ricoeur yang mengatakan bahwa hermeneutik
membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari
simbol-simbol (Sumaryono, 1999:105; Bleicher, 2003: 376; Montefiore, 1983:192).
Paul Ricoeur juga merasa penting meletakkan peranan metafora
dan simbol di tempat sentral dalam penafsiran sastra karena pemahaman tentang
dua konsep kunci penuturan puitis itu berkaitan dengan perluasan teori
penafsiran dan konsep pemahaman. Metafora seringkali hanya dipandang sebagai
ornamentasi, tetapi Paul Ricoeur memandangnya lebih dari sekadar ornamentasi.
Paul Ricoeur dalam Hadi W.M. (2014:62) berpendapat bahwa metafora dalam dirinya
memiliki nilai lain, yaitu nilai emotif yang memungkinkan ia mengatakan
“sesuatu yang baru” tentang realitas. Meskipun memiliki nilai tambah, metafora
cenderung mati dan tidak segar lagi dalam penuturan yang disebabkan oleh proses
seperti pendangkalan dan pemiskinan arti.
Simbol berbeda dari metafora. Simbol lebih kompleks dan kaya
muatan nilainya. Menurut Paul Ricoeur, simbol mengandung dua dimensi, yaitu
dimensi yang terikat pada aturan linguistik dan dimensi yang tidak terikat pada
aturan kebahasaan. Yang pertama, simbol dapat dikaji melalui semantik. Yang
kedua, simbol cenderung asimilatif berakar dalam pengalaman kita yang
terbuka terhadap berbagai metode yang berbeda bagi penyingkapan makna. Simbol
dapat dikaji melalui berbagai disiplin, seperti psikoanalisis, arkeologi,
eskatologi, sejarah perbandingan agama, dan mistisisme (Hadi W.M., 2014:63).
Simbol menanam akarnya sedemikian dalam pada konstelasi
kehidupan. Simbol juga dapat membimbing kita untuk berpikir bahwa dia tidak
pernah mati. Simbol bisa ditransformasikan dengan berbagai cara sehingga
selamanya terasa segar, apalagi di tangan seorang sastrawan dan seniman yang
kreatif, kaya gagasan, pengalaman batin, dan imajinasi.
Penafsiran terhadap teks tertentu, tanda, atau simbol yang
dianggap sebagai teks ini menempatkan kita harus memahami “What is a text?”. Dalam sebuah artikelnya,
Paul Ricoeur mengatakan bahwa teks adalah “any
discourse fixed by writing” (Ed. Thomson, 1982:145; Terj. Syukri,
2006:196). Dengan istilah “discourse” ini,
Paul Ricoeur merujuk kepada bahasa sebagai event, yaitu
bahasa yang membicarakan sesuatu, bahasa yang di saat ia digunakan untuk
berkomunikasi. Sementara itu, teks merupakan sebuah korpus yang otonom yang
dicirikan oleh empat hal berikut ini (Permata dalam Ricoeur, 2003:217-220)..
Pertama, dalam
sebuah teks makna yang terdapat pada apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses
pengungkapannya (the act of saying), sedangkan
dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.
Kedua, dengan
demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara,
sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa
yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti bahwa penulis tidak
lagi diperlukan. Akan tetapi, maksud penulis sudah terhalang oleh teks yang
sudah membaku.
Ketiga, karena
tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat
kepada konteks semula (ostensive
reference). Ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang
ditunjuk oleh teks, dengan demikian adalah dunia imajiner yang dibangun oleh
teks itu sendiri, dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan
teks-teks yang lain.
Keempat, dengan
demikian juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan
terikat kepada pendengarya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu,
melainkan kepada siapa pun yang bisa membaca dan tidak terbatas pada ruang dan
waktu. Sebuah teks membangun hidupnya sendiri karena sebuah teks adalah sebuah
monolog.
Daftar Pustaka
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Terj. Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Chittick, William C. 2001. Hermeneutika Al-Qur’an Ibnu Al-“Araby. Yogyakarta: Qalam.
https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3304/hermeneutika-dalam-sistem-interpretasi-paul-ricoeur di akses pada hari senin tanggal 8 november 2021 pukul 20:20
Komentar
Posting Komentar