Judul: Naka, Layya, dan Anin: Tiga Sahabat, Satu Tujuan
Sore itu, angin berhembus lembut di taman bermain,
Tiga sahabat, Naka, Layya, dan Anin, duduk di ayunan yang berayun perlahan.
“Pernah nggak kalian mikir,” tanya Anin sambil menatap langit,
“Kenapa orang tua kita suka kasih nasihat panjang, kayak ceramah tanpa pamit?”
Layya tertawa kecil, lalu berkata,
“Karena mereka tahu, kita butuh pegangan untuk tumbuh di dunia.
Kalau nggak ada nasihat, bisa-bisa kita jalan tanpa arah,
Kayak layang-layang putus, cuma terbang, lalu jatuh ke tanah.”
Naka tersenyum, lalu ikut bertanya,
“Kalau begitu, apa nasihat yang paling kalian ingat sampai sekarang?
Apa yang bikin kalian jadi seperti sekarang?
Ayo cerita, aku penasaran banget, nih, kawan!”
Layya: Jadi Dirimu yang Berintegritas
Layya menarik napas panjang, lalu mulai berbicara,
“Ayahku bilang sesuatu yang selalu aku bawa:
‘Layya, kamu itu seperti cermin yang berkilau,
Kalau penuh debu, orang nggak akan percaya saat kamu bicara soal hal yang indah dan luhur.’”
Anin mengernyitkan dahi, “Maksudnya gimana, Layya?”
“Itu artinya, aku harus jujur, meski sulit dan berat rasanya.
Kejujuran itu bikin hati lega dan tenang,
Bukan seperti bohong yang cuma bikin hidup jadi bimbang.”
Naka mengangguk, “Tapi pasti nggak selalu mudah, kan?”
Layya tersenyum, “Tentu saja, Naka. Pernah aku hampir menyontek saat ujian.
Tapi aku ingat kata Ayah, ‘Nilai bukan segalanya,
Tapi kejujuran adalah segalanya.’ Jadi aku berhenti, walau nilainya seadanya.”
Anin: Berani Gagal, Berani Bangkit
Kini giliran Anin angkat bicara,
“Aku ingat kata Ibu, waktu aku hampir menyerah di tengah jalan.
‘Anin, hidup itu seperti belajar naik sepeda,
Kalau jatuh, kamu nggak berhenti, tapi bangkit dan terus mencoba.’”
Naka menatap penuh rasa ingin tahu,
“Kamu pasti pernah takut gagal, kan, Anin? Sama seperti aku.”
“Tentu saja,” Anin mengangguk,
“Aku dulu takut ikut lomba lari, takut kalah dan malu di depan semua orang.
Tapi Ibu bilang, ‘Kalah itu bukan musuh,
Musuhmu yang sebenarnya adalah rasa takut yang membuat langkahmu runtuh.’
Jadi aku ikut lomba, dan benar saja aku kalah,
Tapi di sana aku belajar, bahwa keberanian jauh lebih berharga dari medali emas.”
Layya tersenyum, “Wah, Anin, kamu hebat. Aku harus belajar dari keberanianmu!”
“Dan aku belajar dari kejujuranmu, Layya,” jawab Anin penuh semangat.
Naka: Mendengar dengan Hati, Bukan Sekadar Telinga
Naka menarik napas, kini giliran dia,
“Ayahku selalu bilang sesuatu yang membuatku lebih bijaksana:
‘Naka, dunia ini penuh suara, tapi sedikit yang mau mendengar,
Kalau kamu bisa mendengar dengan hati, kamu akan jadi teman yang banyak orang butuhkan.’”
Anin bertanya, “Maksudnya, Naka? Bukannya mendengar itu mudah?”
Naka menggeleng, “Beda, Anin. Mendengar itu bukan cuma soal kata.
Kadang, teman kita nggak bicara, tapi hati mereka berteriak,
Kalau kita nggak peduli, mereka akan merasa dunia ini makin gelap.”
Layya tersenyum, “Aku paham, Naka. Mendengar dengan hati itu artinya empati, ya?”
Naka mengangguk, “Benar. Kalau kalian sedih, aku ingin jadi orang yang kalian cari,
Bukan yang cuma bilang, ‘Oh, kasihan,’ lalu pergi tanpa peduli.”
Pelajaran dari Tiga Sahabat
Langit mulai berwarna jingga,
Tiga sahabat itu saling berpandangan, hati mereka penuh rasa.
“Layya, kejujuranmu itu seperti cermin yang mengingatkan kita,
Untuk selalu hidup dengan integritas, tanpa takut pada apa kata dunia.”
“Dan Anin,” kata Layya sambil tersenyum,
“Kamu ajarkan aku bahwa keberanian untuk gagal adalah awal dari kemenangan yang sejujurnya.”
“Naka,” Anin menyahut, “Kamu membuatku sadar,
Bahwa mendengar dengan hati adalah hadiah terbesar untuk teman-teman yang benar.”
Penutup
Hari itu, Naka, Layya, dan Anin pulang dengan hati yang hangat,
Mereka tahu, persahabatan mereka adalah tempat mereka tumbuh dengan hebat.
Sore itu, mereka berjanji di bawah langit yang perlahan gelap,
Untuk terus saling mendukung, apa pun yang mereka hadap.
Karena persahabatan sejati adalah tentang belajar dan memberi,
Tentang tumbuh bersama, menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Komentar
Posting Komentar