Langsung ke konten utama

QUESTIO - BAB 1

 BAB 1 – AWAL SEMUA DIMULAI

“Karena setiap kedekatan dimulai dari satu pertanyaan kecil yang tulus.”


Quaestio Prima

"Semua orang bodoh bisa memberi jawaban. Tapi hanya orang bijak yang tahu bagaimana bertanya."
— James Thurber

Dulu, saat kecil, kamu mungkin pernah bertanya, “Kenapa langit warnanya biru?”
Dan entah kenapa, saat dewasa, kamu berhenti bertanya.
Buku ini ingin mengembalikan rasa ingin tahu itu.
Bukan untuk dapat jawaban, tapi untuk membuka pintu obrolan yang selama ini tertutup rapat.

Salam dari MARMUT, Mas fajAR iMUT.

Quaestio:

  1. Kalau kamu bisa nanya apa saja ke siapa pun, hidup atau sudah tiada, kamu akan bertanya apa… dan kepada siapa?

  2. Pertanyaan apa yang paling sering kamu simpan, tapi sebenarnya ingin kamu tanyakan?

  3. Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar didengar?


Pertanyaan Bisa Jadi Pelukan

Pertanyaan itu seperti pelukan: kadang nggak perlu jawaban. Yang penting kita tahu, kita nggak sendirian.

Quaestio:

  1. Kalau ada seseorang yang kamu sayangi sedang sedih, kamu akan bertanya apa padanya?

  2. Kalau kamu bisa menyapa dirimu di masa kecil, kalimat pertamamu apa?

  3. Apa pertanyaan yang kamu harap seseorang tanyakan padamu… tapi belum pernah ada yang menanyakannya?


Tanda Tanya Pertama dalam Hidupmu

Menurut riset psikologi perkembangan, anak-anak usia 2–5 tahun bisa mengajukan lebih dari 300 pertanyaan per hari.
Tapi makin dewasa, angka itu turun drastis.
Kita tak kehilangan rasa ingin tahu—kita cuma takut terlihat bodoh.

Quaestio:

  1. Apa pertanyaan pertama yang kamu ingat pernah kamu tanyakan saat kecil?

  2. Kapan terakhir kali kamu belajar sesuatu yang benar-benar bikin kamu takjub?

  3. Kalau kamu boleh penasaran lagi seperti anak kecil, kamu ingin tahu apa?


Yang Belum Sempat Terucap

Kadang, bukan jawaban yang sulit… tapi keberanian untuk bertanya.
Karena di balik pertanyaan, selalu ada kemungkinan terluka. Tapi juga kemungkinan sembuh.

Quaestio:

  1. Siapa orang yang kamu rindukan, tapi belum sempat kamu ajak bicara dari hati ke hati?

  2. Apa pertanyaan yang ingin kamu ajukan sebelum semuanya terlambat?

  3. Apa satu hal yang kamu harap orang tuamu tahu tentang dirimu?


Kalau Bisa Memilih Awal

Quaestio:

  1. Jika ada Tuhan dan kamu bisa bernegosiasi dengannya, kamu mau hidup sampai umur berapa?

  2. Apakah kamu percaya dengan kesempatan kedua?

  3. Apa tujuan hidupmu?

  4. Hal apa tentang dirimu yang tidak banyak orang tahu?


Satu Hari yang Ingin Diulang

Quaestio:

  1. Jika kamu bisa mengulang satu hari dalam hidupmu, hari apa itu dan kenapa?

  2. Ceritakan pengalaman terakhir kali kamu merasa sangat senang dan bahagia tanpa alasan yang jelas.

  3. Apa pengalaman paling memalukan yang pernah kamu alami dan bagaimana kamu menghadapinya?


Yang Belum Pernah Kamu Tanyakan

Quaestio:

  1. Apa pertanyaan yang selalu ingin kamu tanyakan padaku, tapi kamu merasa ragu untuk mengatakannya?

  2. Pernah nggak merasa nggak dimengerti? Apa hal yang sering disalahpahami orang tentang kamu?

  3. Apa yang kamu kira bakal aku judge, tapi ternyata tidak?


Naka, Layya, dan Anin – Menghitung Uang, Waktu, dan Risiko

“Uang itu alat. Waktu itu investasi. Risiko itu pintu.”

Di sebuah kafe kecil dengan meja kayu yang sederhana, Naka, Layya, dan Anin berkumpul sambil berbagi cerita. Di antara suara gelas dan obrolan ringan yang ramai, Mereka membahas sesuatu yang nyata, sering dianggap remeh tapi penting di kehidupan ini: uang, waktu, dan risiko. 

Naka: "Kenapa Uang Itu Selalu Jadi Topik Penting?" Naka membuka percakapan dengan serius, “Kenapa sih, uang itu selalu jadi topik yang bikin semua orang serius? Aku lihat Ayah dan Ibu sering bicara soal anggaran, Kadang mereka terlihat khawatir, kadang mereka terlihat lega setelah membuat perhitungan.” 

 Anin tersenyum sambil menyeruput teh, “Karena uang itu alat, Naka, bukan tujuan. Ayahku bilang, ‘Anin, uang itu bukan segalanya, Tapi kalau kamu nggak bisa mengelolanya, kamu bisa kehilangan banyak hal yang penting di dunia.’

Layya menimpali, “Benar. Ibu bilang, uang itu seperti benih, Kalau kamu tanam dengan baik, dia akan tumbuh menjadi pohon yang memberi manfaat. Tapi kalau kamu hamburkan sembarangan, dia akan habis seperti air yang mengalir di pasir.” 

Naka berpikir sejenak, lalu bertanya, “Jadi, bagaimana caranya supaya kita bisa bijak dengan uang?” 

 Anin menjawab, “Mulailah dengan hal kecil. Setiap kali kamu dapat uang, pikirkan dulu: ini untuk kebutuhan, keinginan, atau tabungan? Kalau bisa sisihkan dulu sedikit untuk ditabung, Karena masa depan nggak pernah memberi tahu kapan kamu akan butuh cadangan.” 

Layya: "Apa Kita Menggunakan Waktu dengan Benar?" 

Setelah pembahasan soal uang, Layya mengangkat isu baru, “Kalau soal waktu, menurut kalian, apa kita sudah memanfaatkannya dengan benar? Kadang aku merasa sibuk, tapi ternyata nggak produktif, Atau malah terlalu santai, sampai akhirnya semua kerjaan jadi menumpuk dan membuat hidup jadi lebih sulit.” 

Naka tertawa kecil, “Aku juga sering begitu. Tiba-tiba sudah malam, tapi aku merasa nggak ada yang benar-benar selesai dari daftar tugasku.” 

Anin mengangguk, “Iya, aku dulu begitu juga, sampai Ibu bilang sesuatu yang mengubah caraku berpikir: ‘Anin, waktu itu bukan soal panjang atau pendek, Tapi soal apa yang kamu lakukan di dalamnya. Jangan ukur produktivitas dari durasi, tapi dari hasil yang kamu nikmati.’” 

Layya bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan sekarang, Anin?” 

“Aku belajar membuat prioritas. Ibu bilang, ‘Kerjakan yang penting dulu, Bukan yang kelihatannya mendesak tapi nggak ada dampaknya buat tujuan hidupmu.’ Itu sebabnya aku sekarang selalu bikin daftar kecil: Apa yang harus kuselesaikan hari ini, dan kenapa itu penting buat masa depan.” 

Naka menyahut, “Wah, aku harus coba itu! Karena kadang aku sibuk dengan hal-hal kecil, Tapi lupa dengan tujuan besarku. Aku sering kehilangan arah.” 

Layya menambahkan, “Jadi intinya, waktu itu seperti investasi, ya? Kalau kita nggak pakai dengan bijak, kita cuma membuangnya tanpa hasil.” 

Anin: "Bagaimana Kita Menghadapi Risiko?" 

Kini giliran Anin mengajukan pertanyaan yang lebih tajam, “Kalau uang dan waktu itu bisa dikelola, gimana dengan risiko? Apa kita harus selalu menghindari risiko, Atau kita harus berani mengambilnya dengan perhitungan?” 

Naka merenung, lalu berkata, “Ayahku pernah bilang, ‘Risiko itu ada di mana-mana, Bahkan nggak ngapa-ngapain juga punya risiko: kamu akan tertinggal, sementara dunia terus berlari.’ Jadi katanya, risiko itu bukan untuk dihindari, Tapi untuk dipahami dan dikelola dengan hati-hati.” 

Layya tersenyum, “Iya, aku juga pernah dengar hal seperti itu. Ibu bilang, kalau takut gagal terus, kamu nggak akan pernah tahu apa yang bisa kamu capai. Tapi, dia juga bilang, ‘Berani itu bukan berarti nekat, Berani itu berarti tahu risikonya, lalu menyiapkan langkah-langkah untuk menghadapinya.’” 

Anin mengangguk, “Itu seperti saat aku mencoba bisnis kecil menjual kue, Awalnya aku takut rugi karena modalnya dari tabunganku sendiri. Tapi Ibu bilang, ‘Kalau kamu sudah tahu risikonya, pastikan kamu punya rencana cadangan. Dan yang paling penting, jangan habiskan semuanya di satu tempat.’” 

Naka tersenyum, “Jadi, risiko itu bukan untuk ditakuti, Tapi dipahami dan dihadapi dengan persiapan yang matang, ya?” 

Anin menjawab, “Benar sekali. Dunia ini penuh ketidakpastian, Tapi kalau kita selalu lari dari risiko, kita nggak akan pernah bertumbuh.” 

Kesimpulan: 

Uang, Waktu, dan Risiko Di meja kayu itu, ketiga sahabat menyimpulkan pembahasan mereka, Tentang bagaimana uang, waktu, dan risiko adalah tiga hal yang saling berkait erat. “Uang itu alat,” kata Naka, “Kalau kita nggak bijak, dia bisa menguasai hidup kita.” “Waktu itu investasi,” tambah Layya, “Dia bisa habis tanpa hasil kalau kita nggak tahu apa yang kita lakukan.” “Dan risiko itu seperti pintu,” lanjut Anin, “Kalau kita berani membukanya, kita mungkin menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari ketakutan kita.” Mereka bertiga tersenyum puas, Hari itu, mereka belajar sesuatu yang penting, Bukan dari teori, tapi dari cerita hidup yang dekat dan nyata. Karena di dunia yang penuh pilihan dan tantangan, Uang, waktu, dan risiko adalah tiga hal yang harus dikelola dengan bijaksana, Agar hidup menjadi lebih bermakna, bukan hanya sekadar berjalan apa adanya.

Quaestio:

  1. Kalau kamu diberi uang sebesar penghasilanmu setahun ke depan sekarang juga, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

  2. Dalam sebulan terakhir, waktu kamu paling banyak habis untuk apa?

  3. Apa risiko terbesar yang pernah kamu ambil dalam hidupmu? Apakah kamu menyesal atau bersyukur?

  4. Bagaimana kamu tahu kapan harus berani ambil langkah, dan kapan harus menunda?

  5. Pernahkah kamu kehilangan uang, waktu, atau kesempatan karena terlalu takut ambil risiko?

  6. Kalau kamu bisa “menabung waktu” untuk masa depan, kamu akan simpan waktu untuk momen seperti apa?


Naka, Layya, dan Anin – Menyemai Hidup yang Bermakna

“Hidup itu tentang memberi, bukan sekadar memiliki.”

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Naka, Layya, dan Anin duduk di atas rerumputan. Angin membawa bisikan halus dari pepohonan, Seolah mendorong mereka bertanya: Apa arti semua ini? Untuk apa kita hidup, bekerja, dan bermimpi? 

Pertanyaan Naka: "Apa Makna Hidup yang Sesungguhnya?" 

Naka memecah keheningan dengan suara rendah, 

“Menurutmu, apa sih makna hidup yang sesungguhnya? Kita diajari untuk bekerja keras, mencapai sesuatu, Tapi apa semua itu benar-benar memberi kita rasa bahagia dan puas yang sebenarnya?” 

Layya termenung sejenak, lalu berkata, “Aku pernah bertanya hal yang sama pada Ibu. Beliau menjawab, ‘Makna hidup itu bukan soal seberapa banyak yang kamu miliki, Tapi seberapa banyak yang kamu beri. Karena yang benar-benar tinggal, Bukanlah apa yang kamu kumpulkan, tapi apa yang kamu tinggalkan untuk orang lain.’” 

Anin mengangguk, “Aku setuju. Ayahku pernah bilang, ‘Hidup ini seperti pohon. Kamu harus tumbuh ke atas untuk mencapai tujuanmu, Tapi jangan lupa akar yang memberi kekuatanmu—hubunganmu dengan orang lain, dan caramu memberi manfaat.’” 

Naka terdiam, lalu bertanya, “Jadi, apa kita sudah hidup dengan memberi sesuatu yang berarti?” 

Pertanyaan Layya: "Apa Kita Hanya Mengejar?" Layya melanjutk

Anin menjawab perlahan, “Ayahku pernah bilang, ‘Kehidupan modern ini seperti perlombaan tanpa garis akhir. Kamu lari tanpa tahu kapan kamu akan berhenti. Kalau kamu nggak punya tujuan yang jelas, Kamu akan terus lari tanpa merasa benar-benar sampai.’” 

Layya tersenyum kecil, “Jadi, penting untuk berhenti sejenak, ya? Mungkin bukan untuk menyerah, Tapi untuk bertanya: apa yang sebenarnya ingin kita capai? Dan apakah itu sejalan dengan siapa kita ingin jadi?” 

Naka menimpali, “Mungkin hidup ini bukan soal seberapa cepat kita sampai, Tapi seberapa baik perjalanan kita, dan bagaimana kita membawa orang lain ikut bersama.” 

Pertanyaan Anin: "Bagaimana dengan Rasa Takut?" 

Kini giliran Anin bertanya, suaranya sedikit gemetar, “Menurutmu, bagaimana kita menghadapi rasa takut? Kadang aku takut gagal, takut mengecewakan orang lain, Bahkan takut pada apa yang tidak kuketahui.” 

Layya menjawab dengan lembut, “Ibu bilang, rasa takut itu seperti bayangan. Semakin kamu lari darinya, semakin besar ia terlihat. Tapi kalau kamu hadapi, kamu akan sadar, Bayangan itu cuma ilusi, dan kamu lebih besar darinya.” 

Naka menambahkan, “Ayahku bilang, ‘Rasa takut itu adalah guru terbaikmu, Karena dia menunjukkan di mana kamu bisa tumbuh. Kalau kamu berani melewatinya, Kamu akan menemukan versi dirimu yang lebih kuat.’” 

Anin tersenyum samar, “Jadi, bukannya lari, Kita harus belajar menghadapi rasa takut itu, ya? Mungkin itu sulit, tapi itulah cara kita bertumbuh.” 

Kesimpulan: 

Hidup yang Bernilai Malam semakin larut, tapi hati mereka justru terasa lebih terang. Di bawah langit yang luas, mereka menemukan sebuah kesimpulan: Naka: “Hidup itu tentang memberi, bukan sekadar memiliki.” Layya: “Hidup bukan perlombaan, tapi perjalanan penuh makna.” Anin: “Dan hidup adalah keberanian untuk menghadapi rasa takut, Karena di balik ketakutan itu ada peluang untuk tumbuh.” Mereka bertiga saling menatap, tersenyum dalam keheningan. Di dunia yang sering mengukur hidup dari hasil dan pencapaian, Malam itu mereka menyadari sesuatu yang lebih mendalam: Hidup yang bermakna bukan tentang seberapa jauh kita berjalan, Tapi tentang bagaimana kita berjalan, siapa yang kita bantu, Dan keberanian kita untuk menghadapi tantangan dengan hati yang terbuka. Karena pada akhirnya, yang benar-benar penting bukan apa yang kita raih, Tapi jejak baik yang kita tinggalkan di hati orang lain. 

“Hidup yang bermakna bukan tentang seberapa jauh kita berjalan, tapi tentang bagaimana kita berjalan, siapa yang kita bantu, dan keberanian kita untuk menghadapi tantangan dengan hati yang terbuka. Karena pada akhirnya, yang benar-benar penting bukan apa yang kita raih, tapi jejak baik yang kita tinggalkan di hati orang lain.”

Quaestio:

  1. Apa arti ‘hidup yang bermakna’ menurutmu?

  2. Apa kamu sedang mengejar sesuatu? Kalau iya, apa, dan kenapa?

  3. Apa ketakutan terbesarmu yang pernah berhasil kamu lewati?

  4. Siapa orang yang paling membantumu memahami makna hidup sejauh ini?

  5. Kalau kamu harus meninggalkan satu pesan untuk dunia, apa yang ingin kamu katakan?

  6. Apa ‘wilayah’ yang sedang kamu bangun agar kamu bisa menyuarakan isi hatimu tanpa harus bergantung pada tempat lain?

  7. Kalau kamu punya jasa atau pelayanan, aspek kenyamanan apa yang paling ingin kamu tingkatkan bagi orang lain?

  8. Kamu lebih sering jual fitur, benefit, atau value dalam hidupmu? Menurutmu kenapa?

  9. Apa bentuk “jejak baik” yang ingin kamu wariskan, bahkan setelah kamu tak ada?

  10. Apa satu hal kecil hari ini yang bisa kamu lakukan agar dunia ini jadi sedikit lebih baik?

  11. Seberapa sering kamu merasa bahwa kamu sedang “berjalan sendirian”? Dan apa rasanya saat kamu berjalan bersama?

  12. Apa bentuk kebersamaan yang paling berkesan yang pernah kamu alami?

  13. Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar terhubung dengan sekelompok orang?

  14. Kalau hidup adalah permainan, bagaimana kamu ingin memainkannya?


Wilayahmu, Caramu, Warisanmu

“Kalau kamu terus berada di wilayah orang lain, jangan heran kalau kamu merasa tidak bebas. Kadang yang kamu butuhkan bukan panggung… tapi keberanian membangun panggungmu sendiri.”

Dalam hidup, kamu bisa terus mengikuti… atau mulai memimpin.
Kamu bisa memilih jadi penonton… atau mulai jadi pemain.
Tapi untuk itu, kamu perlu satu hal: menentukan wilayahmu sendiri.

Bukan untuk jadi lebih hebat dari orang lain. Tapi supaya kamu tahu:
inilah tempatmu, ini cara mainmu, dan ini nilai yang ingin kamu bawa.

Karena kalau kamu belum menentukan nilaimu sendiri, dunia akan menentukannya untukmu.
Dan bisa jadi, kamu akan berakhir mengejar hal-hal yang tak pernah benar-benar kamu inginkan.

Quaestio:

  1. Kalau kamu bisa memilih satu wilayah atau bidang untuk kamu kuasai, apa itu dan kenapa?

  2. Apa nilai utama yang ingin kamu bawa dalam setiap hal yang kamu lakukan?

  3. Apa saja hal yang membuat kamu merasa hidupmu bukan milikmu sendiri?

  4. Apa makna “menentukan panggung sendiri” bagimu?

  5. Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar merdeka dalam mengambil keputusan?

  6. Kalau hidupmu adalah layanan atau jasa, layanan seperti apa yang ingin kamu berikan kepada dunia?

  7. Jika kamu hanya bisa meninggalkan satu hal untuk diwariskan ke generasi setelahmu, apa itu?

  8. Siapa orang yang menurutmu paling berhasil membangun wilayahnya sendiri? Apa yang bisa kamu pelajari darinya?

  9. Dalam hal apa kamu merasa suara atau pendapatmu belum cukup terdengar?

  10. Apa satu langkah kecil yang bisa kamu lakukan minggu ini untuk mulai membangun panggungmu sendiri?


Sunyi yang Bicara

“Kadang jawaban datang bukan dari keramaian… tapi dari keheningan.”

Mungkin setelah semua pertanyaan ini, kamu merasa belum menemukan jawaban pasti. Tapi bukan itu tujuannya. Mungkin yang kamu temukan adalah ruang—untuk mendengar dirimu sendiri. Untuk mendengar semesta. Untuk mendengar Tuhan.

Karena sebelum segala hal dimulai, selalu ada sunyi yang bicara.
Dan dari sunyi itulah, kedekatan bisa tumbuh… bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan jiwa yang kamu punya.

Quaestio:

  1. Apa makna keheningan bagimu?

  2. Pernahkah kamu merasa seperti sedang diajak bicara oleh sesuatu yang tak terlihat?

  3. Saat kamu benar-benar sendiri, pikiran atau perasaan apa yang paling sering muncul?

  4. Kalau kamu percaya bahwa semesta berbicara, kira-kira apa pesan terakhir yang sedang ia sampaikan padamu?

  5. Kapan terakhir kali kamu merasa “didekap” oleh sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesurupan Setan?

 CERITA: Obrolan di Warung Kopi yang Bikin Ustadz Nyerah Di sebuah warung kopi dekat kampus,  ada obrolan panas antara tiga orang:  - Aab, mahasiswa psikologi  - Ustadz Miqdam, dai muda yang aktif di kajian  - Pak Juki, tukang ojek yang suka baca Al-Qur’an sambil nunggu penumpang  Topiknya:  "Setan dan kesurupan itu nyata nggak sih?" Ustadz Miqdam langsung angkat suara: “Jelas nyata! Setan itu makhluk halus, diciptakan dari api, suka goda manusia, masuk ke tubuh lewat telinga, dan bikin orang kesurupan, teriak-teriak, sampai harus dipanggilkan guru spiritual!” Aab nyeruput kopi, lalu senyum: “Kalau setan bisa masuk lewat telinga… berarti dia kena otitis eksterna, Pak Ustadz.”  Semua tertawa.  Termasuk Ustadz Miqdam.  Tapi dia balik: “Kamu mau bantah dalil dengan canda?”  Aab santai: “Nggak, Pak. Saya mau bantah kebingungan dengan fakta.  Boleh saya tanya:  Kalau setan itu nyata, kenapa nggak pernah muncul di rekaman MRI? K...

Menghitung Uang, Waktu, dan Risiko

 Judul: Naka, Layya, dan Anin: Menghitung Uang, Waktu, dan Risiko Di sebuah kafe kecil dengan meja kayu yang sederhana, Naka, Layya, dan Anin berkumpul sambil berbagi cerita. Di antara suara gelas dan obrolan ringan yang ramai, Mereka membahas sesuatu yang nyata, sering dianggap remeh tapi penting di kehidupan ini: uang, waktu, dan risiko. Naka: "Kenapa Uang Itu Selalu Jadi Topik Penting?" Naka membuka percakapan dengan serius, “Kenapa sih, uang itu selalu jadi topik yang bikin semua orang serius? Aku lihat Ayah dan Ibu sering bicara soal anggaran, Kadang mereka terlihat khawatir, kadang mereka terlihat lega setelah membuat perhitungan.” Anin tersenyum sambil menyeruput teh, “Karena uang itu alat, Naka, bukan tujuan. Ayahku bilang, ‘Anin, uang itu bukan segalanya, Tapi kalau kamu nggak bisa mengelolanya, kamu bisa kehilangan banyak hal yang penting di dunia.’” Layya menimpali, “Benar. Ibu bilang, uang itu seperti benih, Kalau kamu tanam dengan baik, dia akan tumbuh menjadi po...

Petani dan Air Hujan

Cerita Singkat: Petani dan Air Hujan Di sebuah desa, hidup seorang petani muda yang rajin.   Setiap pagi dia bangun lebih awal, mencangkul, menyiangi rumput, menyiram sawah.   Tapi musim kemarau datang.   Hujan tidak turun selama 3 bulan.   Sawah kering. Benih mati.   Orang-orang bilang:   "Kamu sudah gagal. Berhentilah." Tapi petani itu tidak berhenti.   Dia tetap mencangkul tanah yang kering.   Anak-anak desa heran:   "Untuk apa mencangkul tanah kering?" Dia tersenyum:   > "Aku tidak mencangkul untuk menanam hari ini.   > Aku mencangkul agar tanah siap —   > saat hujan akhirnya turun." 6 minggu kemudian, hujan turun deras.   Petani itu langsung menabur benih.   Sementara petani lain masih sibuk memperbaiki lahan yang keras,   dia sudah mulai menanam.   Musim panen tiba.   Lahannya menghasilkan padi paling sub...