Langsung ke konten utama

KERASUKAN

"KERASUKAN" atau Stres Berat?

Mana yang lebih mungkin?

Bayangkan ini:

Di sebuah desa, seorang ibu tiba-tiba menangis keras, berteriak-teriak, bicara dengan suara berbeda, mengamuk, lalu pingsan.

Dikatakan: "Kena kerasukan. Ada makhluk masuk ke tubuhnya." Dipanggil pawang. Dibakar kemenyan. Didoakan keras. Setelah beberapa jam, ia tenang. Warga bilang: "Berhasil! Jinnya keluar!"

Tapi...
Apa yang sebenarnya terjadi?

Fakta Sains: Ini Bisa Jadi "Dissociative TRANCE" atau Krisis Panik

Dalam psikologi, kejadian seperti ini sudah lama dikenal. Bukan sebagai gangguan gaib, tapi sebagai REAKSI TUBUH dan OTAK terhadap TEKANAN BATIN yang sangat besar.

Namanya:
➡️ Dissociative Trance Disorder (Gangguan Trance Disosiatif)
➡️ atau Panic Attack berat dengan disosiasi (tubuh "memutus" dari kesadaran diri).

Gejalanya persis seperti "kerasukan":

- Suara berubah


- Tidak sadar


- Emosi meledak


- Gerakan kaku atau konvulsi


- Lupa setelah kejadian

Tapi penyebabnya?
BUKAN JIN. Tapi stres yang tidak pernah dilepaskan.

Analoginya: Seperti Panci Presto

Bayangkan stres itu seperti uap dalam panci presto.

Setiap hari, kamu tekan:

- Masalah ekonomi


- Konflik keluarga


- Rasa bersalah


- Trauma masa lalu


- Ketakutan terpendam


- Dlsb...

Tapi kamu diam. Kamu tahan.
Kamu bilang: "Aku kuat. Aku harus tabah."

Tapi uap tetap naik.
Tekanan terus membesar.
Sampai… BRAK!
Katup meledak.

Itu bukan setan masuk.
Itu SISTEM SARAF yang kolaps.
Otakmu, sebagai benteng terakhir, MEMUTUS KONEKSI — sebagai mekanisme perlindungan.
Kamu "keluar dari tubuhmu" bukan karena roh, tapi karena SISTEM OTAK: “Aku tidak sanggup lagi. Aku harus kabur dari rasa ini.”

Data Dunia: Ini Umum, Bukan Ajaib

Menurut WHO dan American Psychiatric Association, gangguan disosiatif:

- Lebih sering terjadi di masyarakat yang menekan ekspresi emosi.


- Sering dikaitkan dengan trauma masa kecil, kekerasan, atau tekanan sosial.


- Dan lebih mudah diinterpretasi sebagai "kerasukan" di budaya yang tidak mengenal istilah mental health.

Artinya:
Bukan kamu lemah. Bukan kamu KENA SIHIR. Tapi kamu manusia yang terlalu lama menahan beban yang seharusnya tidak perlu ditanggung sendiri.

Lalu, Apa Solusinya?

Kalau kamu anggap ini "KERASUKAN", solusinya:
➡️ Doa (baik)
➡️ Ritual (bisa menenangkan)
➡️ Pawang (memberi rasa aman)

Tapi kalau kamu anggap ini STRES BERAT + TRAUMA, solusinya:
➡️ BICARA. Dengan orang yang aman.
➡️ TERAPI. Psikolog bisa bantu proses emosi.
➡️ PERUBAHAN GAYA HIDUP. Tidur cukup, kurangi kafein, latihan napas.
➡️ SUPPORT SYSTEM. Keluarga yang mendengar, bukan menghakimi.

Dan yang paling penting:
BOLEH lemah. BOLEH sakit. BOLEH minta tolong.
Itu bukan dosa. Itu MANUSIA.

KITA Tidak Perlu Memilih Antara Dua Dunia

Kamu tidak harus bilang:
"Semua kerasukan itu stres!"
Atau:
"Semua stres itu gangguan jin!"

Kamu bisa bilang:
"Aku percaya Tuhan. Aku hormat ritual. Tapi aku juga percaya TUBUHKU PUNYA BAHASA."

Dan teriakan, amukan, pingsan — itu bisa jadi bahasa tubuh yang sudah kelelahan.

Jadi, sebagai anak yang BERPIKIR JERNIH, kita bisa:

1. Hormati ibadah orangtua. Biar ia tetap tenang dengan doa.


2. Tapi dorong ia untuk juga periksa kesehatan mental.


3. Ada yang mau bantu menambahkan, Gengs?...

Seperti cek darah, cek gula — cek pikiran juga penting.

Karena JIWA yang sehat bukan yang tidak pernah jatuh. Tapi yang BERANI BANGKIT — dengan cara yang BENAR.

Sampai sini ada yang related?
Sampai sini ada yang keresahannya terjawab?
Atau jangan-jangan baru sampai sini ada yang terusik mata pencahariannya?

Tertarik untuk diskusi?
Aku SIAP. Kapan saja. Dengan DATA. Dengan HATI. Murni dengan TUJUAN: KITA HIDUP LEBIH JERNIH, LEBIH BENING.

Niatku menulis ini bukan untuk mengganti kepercayaanmu yaa. Tapi untuk membantumu MELIHAT DUNIA dengan LEBIH JELAS — agar kamu bisa melindungi dirimu, keluargamu, dan masa depanmu.

Semoga Membantu.
Salam Waras, 🤚🏻
Nuzul Fajar, CT.SA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesurupan Setan?

 CERITA: Obrolan di Warung Kopi yang Bikin Ustadz Nyerah Di sebuah warung kopi dekat kampus,  ada obrolan panas antara tiga orang:  - Aab, mahasiswa psikologi  - Ustadz Miqdam, dai muda yang aktif di kajian  - Pak Juki, tukang ojek yang suka baca Al-Qur’an sambil nunggu penumpang  Topiknya:  "Setan dan kesurupan itu nyata nggak sih?" Ustadz Miqdam langsung angkat suara: “Jelas nyata! Setan itu makhluk halus, diciptakan dari api, suka goda manusia, masuk ke tubuh lewat telinga, dan bikin orang kesurupan, teriak-teriak, sampai harus dipanggilkan guru spiritual!” Aab nyeruput kopi, lalu senyum: “Kalau setan bisa masuk lewat telinga… berarti dia kena otitis eksterna, Pak Ustadz.”  Semua tertawa.  Termasuk Ustadz Miqdam.  Tapi dia balik: “Kamu mau bantah dalil dengan canda?”  Aab santai: “Nggak, Pak. Saya mau bantah kebingungan dengan fakta.  Boleh saya tanya:  Kalau setan itu nyata, kenapa nggak pernah muncul di rekaman MRI? K...

Menghitung Uang, Waktu, dan Risiko

 Judul: Naka, Layya, dan Anin: Menghitung Uang, Waktu, dan Risiko Di sebuah kafe kecil dengan meja kayu yang sederhana, Naka, Layya, dan Anin berkumpul sambil berbagi cerita. Di antara suara gelas dan obrolan ringan yang ramai, Mereka membahas sesuatu yang nyata, sering dianggap remeh tapi penting di kehidupan ini: uang, waktu, dan risiko. Naka: "Kenapa Uang Itu Selalu Jadi Topik Penting?" Naka membuka percakapan dengan serius, “Kenapa sih, uang itu selalu jadi topik yang bikin semua orang serius? Aku lihat Ayah dan Ibu sering bicara soal anggaran, Kadang mereka terlihat khawatir, kadang mereka terlihat lega setelah membuat perhitungan.” Anin tersenyum sambil menyeruput teh, “Karena uang itu alat, Naka, bukan tujuan. Ayahku bilang, ‘Anin, uang itu bukan segalanya, Tapi kalau kamu nggak bisa mengelolanya, kamu bisa kehilangan banyak hal yang penting di dunia.’” Layya menimpali, “Benar. Ibu bilang, uang itu seperti benih, Kalau kamu tanam dengan baik, dia akan tumbuh menjadi po...

Petani dan Air Hujan

Cerita Singkat: Petani dan Air Hujan Di sebuah desa, hidup seorang petani muda yang rajin.   Setiap pagi dia bangun lebih awal, mencangkul, menyiangi rumput, menyiram sawah.   Tapi musim kemarau datang.   Hujan tidak turun selama 3 bulan.   Sawah kering. Benih mati.   Orang-orang bilang:   "Kamu sudah gagal. Berhentilah." Tapi petani itu tidak berhenti.   Dia tetap mencangkul tanah yang kering.   Anak-anak desa heran:   "Untuk apa mencangkul tanah kering?" Dia tersenyum:   > "Aku tidak mencangkul untuk menanam hari ini.   > Aku mencangkul agar tanah siap —   > saat hujan akhirnya turun." 6 minggu kemudian, hujan turun deras.   Petani itu langsung menabur benih.   Sementara petani lain masih sibuk memperbaiki lahan yang keras,   dia sudah mulai menanam.   Musim panen tiba.   Lahannya menghasilkan padi paling sub...